Pariwaraku.com – Palu, Sekira pukul 16.00 WITA langit masih membiru, matahari masih meninggi, hembusan angin begitu akrab menemani di pinggiran pantai Talise, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu. Burhan (52) sedang santai di pondok mungilnya, ia rehat sejenak dari pekerjaan yang cukup melelahkan, sambil menikmati rokok yang terselip dijarinya, dengan nada lembut ia berujar bahwa pagi hingga petang selalu di penggaraman talise.
Burhan merupakan masyarakat asli Talise, namun semenjak rumahnya dilululantahkan oleh gempa yang disertai tsunami, ia kini tinggal bersama istri dan anaknya di Hunian Sementara yang bertempat di Kelurahan layana, “rumah habis dengan tsunami, tidak ada lagi yang tersisa, sehingga saya, istri dan anak menempati huntara di layana,” Pekerjaan satu-satunya Burhan hanyalah petani garam, setiap hari ia bekerja di pematang garam, ia mengungkapkan dalam seminggu bisa menghasilkan 10 sampai 12 karung garam, tetapi, tergantung daripada cuaca, jika mendung lebih, maka hasil yang didapat hanya sedikit. Garam yang diproduksi umumnya oleh petani garam ada tiga tipe, pertama garam yang dikonsumsi Rp 100 rb perkarung, garam ikan Rp 40 rb perkarung, dan pupuk garam Rb 35 rb.
Ia menuturkan, kondisi petani garam saat ini begitu sulit akibat harga garam yang turun drastis, pasalnya, harga garam dari Rp 100 rb perkarung menjadi Rp 35 rb perkarung, hal ini di disebabkan hujan yang hampir setiap hari menyapa petani garam, dibalik itu, kesulitan bagi petani garam untuk menutupi kebutuhan dirumah. “Harga garam sekarang ada yang Rp 35 rb ada juga Rp 40 rb perkarung, tapi itu sudah turun sekali, sebelum hujan, sejak dua bulan lalu harga garam masih Rp 150 rb, sempat turun Rp 75 rb kemudian Rp 50 rb, langsung turun Rp 35 rb.
Dirumah ada dua kepala yang mesti makan kalau harga garam begini terus susah kita petani garam kasian.” ucapnya Bukan hanya itu, salah satu memengaruhi turunnya harga garam karena dipasoknya garam dari luar daerah seperti Makassar dan Surabaya, jika ini dibiarkan berlarut-larut, Burhan menganggap ini membunuh petani garam di kota palu. “Yang jadi masalah juga ini garam-garam dari luar, masuk ke palu, seperti dari Makassar dan Surabaya, salah satunya akibat itu, karena stoknya mereka lebih banyak, dan mungkin harga dari Jawa dan Makassar itu dibawah harga, jadi bisa saja ini membunuh secara halus, mereka matikan petani garam di palu,” ujarnya
Tidak lama lagi di tahun 2020 akan menggelar pesta demokrasi yang dilaksanakan 5 tahun sekali, Burhan pun menitipkan garam buat pilkada 2020, harapannya harga garam bisa stabil dan produksi garam petani kota palu eksistensinya bisa ditingkatkan, bukannya malah mengambil garam dari petani dari daerah lain tapi garam petani sendiri di abaikan lalu dilupakan.
Meskipun sebenarnya Burhan sudah pesimis dengan pemimpin, apalagi baginya saat pencalonan saja mereka itu kasih turun kaca mobil, setelah jadi di tutup rapat-rapat kaca mobil, “jadi dorang pikir, pusing amat sama orang kecil, kan begitu, sapa suruh kamu pilih saya, biasa kan orang bilang begitu, gila orang yang mo bilang begitu.”
Oleh : Miftahul Afdal Mahasiswa Sosiologi Universitas Tadulako