“Belanja-belanja (militer) yang dulu ke luar (negeri), direm dulu. Beli produk dalam negeri kita. Kemhan bisa beli di DI (PT Dirgantara Indonesia), Pindad, PAL. Agar ekonomi kena trigger, bisa memacu pertumbuhan ekonomi kita.”
Jakarta, Pariwaraku.com – Ucapan Jokowi untuk mengerem impor senjata itu terlontar sehari sesudah Badan Kerja Sama Pertahanan Amerika Serikat merilis informasi bahwa Departemen Luar Negeri mereka telah memutuskan untuk menyetujui kemungkinan penjualan 8 unit pesawat MV-22 Block C Osprey pabrikan Bell Textron & Boeing kepada pemerintah Indonesia seharga Rp 28,8 triliun.
“Sangat penting bagi AS untuk membantu Indonesia mengembangkan dan menjaga kapabilitas pertahanannya yang kuat dan efektif. Penawaran penjualan pesawat ini akan meningkatkan kapabilitas penanganan bencana Indonesia dan mendukung operasi-operasi amfibi,” tulis Defense Security Cooperation Agency dalam keterangan persnya, 6 Juli 2020.
Esoknya, 7 Juli, Jokowi mengeluarkan perintah untuk mengerem impor alutsista. Keesokannya lagi, 8 Juli, Kementerian Pertahanan RI membantah berencana membeli MV-22C Osprey dari AS. Sekjen Kemhan, Marsekal Madya Donny Ermawan Taufanto, mengatakan kementeriannya mengutamakan produk dalam negeri.
Di masa pandemi begini, kebijakan itu memang masuk akal. Apalagi, empat bulan sebelumnya setumpuk senjata impor sudah masuk. Pada 15 April, Badan Pusat Statistik merilis data ekspor-impor Indonesia sepanjang Maret yang memperlihatkan peningkatan drastis impor senjata—naik 7.384 persen dari bulan Februari; bahkan melonjak 8.809 persen dari tahun sebelumnya, Maret 2019.
Senjata-senjata dari Belanda, Amerika Serikat, dan Italia itu merupakan hasil belanja militer Kemhan. Menurut Kepala BPS Suhariyanto, “Ini impor rutin setiap tahun untuk pertahanan dan keamanan negara.”
Indonesia sejak dulu secara berkala masuk ke daftar negara pengimpor senjata terbesar di dunia. RI mulai masuk ke daftar itu pada 1958—tiga belas tahun setelah merdeka.
Impor senjata RI menanjak pada 1960 di era Demokrasi Terpimpin Sukarno, lalu turun, meningkat lagi pada 2003 di masa Reformasi, kemudian kembali turun, mendadak melonjak pada 2013-2014 di akhir pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, lalu merosot, dan naik lagi pada 2017 di periode Jokowi.
Meski Indonesia juga mengembangkan industri pertahanan domestiknya, ia tetap bergantung pada impor senjata untuk sebagian besar alutsistanya. Selama 2013–2017, berdasarkan data Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), Indonesia tercatat sebagai importir senjata terbesar ke-10 di dunia.
RI membeli alutsista dari ragam pemasok, mencerminkan sikap non-bloknya. Negara-negara yang menjadi pemasok utama impor senjata Indonesia pada periode 2012-2016 adalah Inggris, Amerika Serikat, Rusia, Korea Selatan, China, dan Jerman.
Impor senjata Indonesia membesar secara substansial dua dekade terakhir seiring dengan anggaran belanja militer yang meningkat signifikan. Hal ini didorong oleh upaya modernisasi kekuatan tempur TNI lewat kebijakan jangka menengah berupa pemenuhan minimum essential force (MEF) yang ditetapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2010.
Pemerintah RI memasang target untuk memenuhi 100 persen MEF pada 2024—akhir periode kepemimpinan Jokowi. Hingga tahun 2019, menurut Ketua Komisi I DPR Meutya Hafid, pemenuhan MEF sudah mencapai 74 persen. Di angka 100 persen nanti, pertahanan Indonesia diyakini bakal punya efek gentar bagi dunia.