Hapuskan UN, Saatnya Merdeka Belajar.

FOTO : Suara.com
Bagikan Artikel ini

Pariwaraku.com – Terdapat perbedaan pola pikir antara kaum tua dengan kaum muda. Kaum tua seringkali lebih menyukai hal-hal yang mapan, sementara kaum muda lebih suka antikemapanan. Kemunculan pak Nadiem Makarim membuktikannya, sejak awal menjabat saja sudah dipersoalkan. Pak Nadiem dikhawatirkan tidak akan becus mengurusi pendidikan di tanah air.

Betapa tidak, pak Nadiem tak punya background di bidang pendidikan, meski orang-orang lupa kalau dia menamatkan kuliahnya (S1 dan S2) di luar negeri. Berarti dia juga berpengalaman menghadapi dunia pendidikan, hanya saja dari posisi seorang peserta didik, tak pernah jadi pendidik.

Apalagi, kebijakannya baru-baru ini yang dinilai nekat bin kualat yakni dengan rencana ingin menghapus UN. Sontak saja banyak pihak yang keberatan, rata-rata didominasi kaum tua. Salah satunya adalah pak Wapres Jusuf Kalla (JK), keberatannya dia lontarkan sewaktu baru saja meraih gelar Doktor Honoris Causa (HC) dari Universitas Negeri Padang (UNP). Jangan lupa, gelar kehormatan itu merupakan penghargaan atas jasa pak JK dalam dunia pendidikan, salah satunya dalam mengawal UN mulai sejak diterbitkan oleh pemerintah sampai sekarang.

Hingga baru-baru ini, salah seorang anggota DPR RI fraksi Gerindra turut mencecar pak Nadiem lantaran rencana gilanya itu. Sebagai orang intelek yang sudah terlanjur buang statement, pak Nadiem tentulah sudah mempersiapkan jawaban terhadap siapa saja yang akan menyerangnya. Sebab dia sadar, kebijakan yang kontroversi seperti itu pasti bakal kena hujan hujatan.

Pertama, kritikan pak JK: jikalau UN dihapus, siswa akan menjadi lembek. Tak ada usaha bagi guru untuk lebih serius dalam mengejar target capaian keberhasilan pendidikan yang ukurannya adalah nilai UN. Kondisi kompetensi siswa akan kembali ke masa seperti waktu sebelum diselenggarakannya UN, yaitu kelulusan diraih dengan dongkrak mendongkrak nilai dan juga terbitnya nilai kasihan, ‘kasian juga orangtua menyekolahkan kalau tak diluluskan.’

Namun, dengan naluri mudanya yang anti kemapanan dan anti keterkungkungan, pak Nadiem pun menjawab kritikan itu. Katanya justru kalau UN diganti dengan assesmen kompetensi minimum dan survei karakter, siswa lebih tertantang, kognitifnya lebih terangsang untuk berkembang. Tidak seperti UN yang cenderung menjadikan siswa lebih banyak menghapal daripada menganalisa.

Kedua, cecaran pertanyaan dari seorang anggota DPR RI fraksi Gerindra yang menilai penghapusan UN itu terburu-buru. Nantinya, sistem evaluasi pengganti UN yang belum matang itu justeru menimbulkan kekacauan di tengah masyarakat. Sebab penilaian sudah akan subjektif, akan banyak tuntutan dari masyarakat mengenai subjektivitas penilaian oleh guru/sekolah. Sebaliknya, seandainya UN masih diberlakukan, masyarakat tak akan menyalahkan guru/sekolah, sebab sistem penilaiannya objektif dan menyeluruh. Lagian, standarisasi nilai UN berguna bagi siswa yang ingin masuk ke sekolah-sekolah unggulan, universitas pun punya acuan dalam menerima calon mahasiswa baru.

Bukannya ciut, pak Nadiem justeru balik menguliahi pak anggota DPR kita itu dengan mempertanyakan subjektivitas itu sendiri. Penilaian mana yang tidak berangkat dari subjektivitas? Di perusahaan saja, kala hendak menerima calon karyawan, pihak perusahaan melakukan wawancara dan itu subjektif. Jadi penilaian yang didalihkan atas subjektivitas itu bukan hal yang penting untuk dijadikan alasan penolakan menghapus UN.

Hal yang lebih menarik sebenarnya adalah alasan utama penghapusan UN di tahun 2021 mendatang, yaitu karena UN membikin stres semua pihak. Mulai dari sekolah, guru, orangtua, apalagi siswa yang menjalaninya. UN memaksa sekolah-sekolah di daerah-daerah agar mempunyai peserta didik yang pengetahuannya mampu setara dengan sekolah unggulan. Sementara dari fasilitas sarana dan prasarana dan juga tenaga pengajar berbeda jauh antara keduanya.

Menjelang pelaksanaan UN, siswa kelas ujung akan disibukkan dengan les, yaitu pelajaran tambahan di sore hari. Mata pelajaran yang dileskanpun khusus mata pelajaran yang akan di-UN-kan. Siswa semata-mata belajar demi UN, disertai dengan bayang-bayang “tidak lulus” yang terus menghantui. Les dilakukan diawali dengan pemberian teori, kemudian dilanjutkan dengan latihan menjawab lembaran soal-soal UN tahun-tahun sebelumnya yang menjadi arsip sekolah. Itu dilakukan hampir setengah semester (3 bulan–pen.).

Pada saat hari H pelaksanaan UN, sekolah-sekolah “bawah” bergabung ujian ke sekolah induk, biasanya setiap kecamatan ada satu sekolah Induk KKM, ataukah harus ke kota dahulu (bagi sekolah-sekolah terpencil). Kendati peserta UN dari daerah ke kota mencari rumah sewa atau tumpangan, hanya demi mengikuti UN.

Pasalnya sewaktu masih duduk di bangku MTs di kampung –karena kebetulan sekolah saya adalah induk KKM dari beberapa sekolah swasta yang ada di beberapa kecamatan sekitar, saya menyaksikan sendiri beberapa sekolah bergabung di sekolah saya menyertakan siswanya mengikuti UN. Mereka harus menyewa rumah warga, atau kalau beruntung diberi tumpangan menginap gratis. Sekali lagi hanya demi mengikuti UN.

loading...

Bukannya apa, semua pengorbanan untuk mengikuti UN itu biasalah. Tapi UN itu sendiri bermakna apa bagi siswa di kampung? Sudah butir-butir soalnya tak pernah dipelajari, cara menjawab soalnyapun aneh: membulat jawaban sampai hitam, jangan sampai keluar garis dan jangan sampai kurang dari bulatan. Biarpun pilihan jawaban benar, kalau bulatan salah, ya jawabannya jadi salah.

Okelah, butir soal bertujuan mengasah kognitif dan bulat-membulat untuk melatih kesabaran dan lain-lain. Tapi jawaban salah itu apakah karena salah menjawab ataukah salah membulat, tidak diketahui. Tiba-tiba saja pada saat pengumuman, yang agak kurang cerdas lulus memuaskan dengan nilai tinggi, sedang si bintang kelas harus menangis kesal lantaran nilai UN nya nyungsep ke nilai standar, nyaris tidak lulus.

Padahal, pada saat UN berlangsung, pengawas ujian dan pihak sekolah sudah ‘main mata’ agar siswa-siswi dibantu dengan bocoran jawaban. Setiap tahun, aturan mengenai penyelenggaraan UN berubah, semakin diperketat. Hal itu didasarkan niat pencegahan atas kecurangan penyelenggaraan UN. Pola pelaksanaanyapun diubah, misalnya sistem kepengawasan silang, paket soal berbeda-beda, penggabungan siswa berbeda sekolah dalam satu ruangan, dan lain sebagainya.

Tapi apa lacur, solidaritas sosial yang lahir dari rasa senasib sepenanggungan di tengah penderitaan menghadapi kejamnya butir-butir soal UN, mengarahkan para guru dan pengawas ujian sekalian melakukan kerjasama membocorkan kunci jawaban (yang entah itu benar atau salah). Biasanya ada aktor utama di ruangan tersembunyi yang bertindak membuat salinan kunci jawaban, lalu didistribusikan secara tersembunyi lewat agen-agen hingga sampai ke tangan pengawas. Pengawas lalu membocorkan jawaban ke peserta ujian dengan berbisik disertai isyarat, asalkan tak kedengaran oleh pengawas utama, yang sedari tadi di luar asyik diajak ngobrol, sambil menyantap makanan yang lezat-lezat yang memang sengaja disiapkan. Supaya si pengawas utama lalai dari tugasnya.

Maka dari itu, jika UN dihapus, rantai kejahatan intelektual semacam tadi itupun ikut terputus. Lagian, UN itu diskriminatif, memaksa sebagian yang berbakat di bidang studi lain untuk harus berbakat di bidang studi yang diujikan di UN. Hal ini adalah kejahatan intelektual kedua setelah sindikat pembocoran jawaban, yakni pemaksaan selera dan minat dan bakat.

UN adalah produk usang yang toh semenjak mula diterapkan hingga sekarang tidak juga membawa kemajuan berarti bagi dunia pendidikan. Malah UN hanya menambah dosis nalar pragmatisme peserta didik dengan mitos-mitos belajar menghapal siang dan malam agar lulus ujian.

Sudah saatnya UN dihapuskan, diganti dengan evaluasi gaya baru yang lebih jujur dan berefek pada pembentukan karakter. Saatnya siswa, guru, orangtua dan masyarakat bebas dari stres akibat UN. Bebas berarti merdeka, maka saatnya memang untuk Merdeka Belajar.

Penulis : Saeful Ihsan
Sumber : autoafeksi.blogspot.com


Bagikan Artikel ini

Pos terkait